Belajar Keterampilan Hidup
Orangtua selalu ingin menunjukkan yang terbaik untuk anak. Kalau dulu sewaktu orangtua kecil hidupnya susah, pastinya orangtua tidak ingin hidup susahnya terulang juga untuk anak. Kalau dulu sewaktu kecil orangtua dibebani banyak pekerjaan rumah, jikalau sanggup anak-anaknya tidak usah mengerjakan apa-apa. Apa benar begitu ya?
Saya termasuk terlambat berguru mengerjakan pekerjaan rumah. Selama 18 tahun dari mulai usia 3 bulan hingga kelas 3 SMA, ada pengasuh setia yang selalu menemani hari-hari kami dan yang mengerjakan semuanya di rumah. Dari mulai mengurus lima orang anak, membersihkan rumah, masak, dan lain-lainnya. Kedua orangtua kami bekerja, pergi pagi-pagi dan gres pulang sore atau malam hari. Setelah pengasuh pensiun, kerepotan pun dimulai. Saat itu, rumah kami gres saja direnovasi menjadi bertingkat dan rata-rata yang hendak bekerja sebagai asisten rumah tangga sudah takut duluan begitu melihat besarnya rumah dan banyaknya orang di dalamnya. Sebenarnya yang tinggal di rumah kami tidak banyak juga sih, hanya orangtua dan lima orang anak serta kenyataan jikalau hanya ada papan penggilasan di rumah.
Masa-masa tidak ada asisten rumah tangga ini menciptakan kami jadinya membagi tugas. Yang pulang duluan harus memasak nasi, dikala itu yang kebagian kiprah memasak nasi (masak nasinya masih pakai panci biasa dan setelahnya dipindahkan ke dandang) ialah adik bungsu yang masih SD, satu-satunya anak lelaki di rumah. Biasanya lauk-pauk sudah disiapkan Ibu sebelum berangkat kerja, atau jikalau Ibu tidak sempat memasak, yang pulang duluan sehabis si bungsu harus menyiapkan lauk. Biasanya lauk yang mudah-mudah saja, jikalau tidak telur ceplok ya telur dadar.
Jadilah masing-masing anggota keluarga mempunyai spesialisasi pekerjaan. Saya sebagai anak sulung lebih suka bersih-bersih rumah, menyapu dan mengepel. Sedangkan mencuci piring dan menyetrika baju sebisa mungkin mengerjakannya ditukar dengan adik yang lainnya, alasannya ialah mencuci piring menciptakan kulit tangan saya menjadi gatal dan kasar, bahkan pernah telapak tangan kena kutu air. Sementara menyetrika baju entah mengapa sangat sulit dikuasai dan tidak tahan dengan panasnya.
Dengan tangan dan kaki yang kena kutu air, apakah kiprah diberhentikan? Tentu saja tidak, kiprah tetaplah tugas. Apakah tugas-tugas tersebut bermanfaat di kemudian hari? Saya tidak sanggup mengingkarinya, kebiasaan ini ternyata sangat bermanfaat sekali.
Saat berumah tangga, kami mulai untuk menunjukkan kiprah dan tanggung jawab ke belum dewasa dikala mereka mulai besar. Dimulai dari membereskan daerah tidur sendiri, menutup jendela dan tirai jendela kamar sendiri. Pelan-pelan, kiprah pun ditambah menjadi kami bantu-membantu membersihkan rumah dikala si teteh libur atau sakit. Biasanya si sulung pilih menyapu dan si tengah pilih mengepel, sementara si bungsu masih bebas tugas. Untuk urusan mencuci, dikala kini sudah lebih gampang alasannya ialah ada mesin cuci. Si sulung biasanya juga ditugaskan mencuci baju dan menjemur bajunya bersama si adik tengah.
Saat ini mencuci piring sendiri sehabis makan juga sudah dibiasakan. Si sulung sudah tertib, si tengah masih belum mau. Memasuki tahun ini yang sudah menginjak bulan ketiga, mereka menerima komplemen menyetrika baju harian masing-masing namun menyetrika pakaian seragam sekolah masih ditangani asisten rumah tangga yang tiba harian ke rumah. Karena setiap anak mempunyai agenda sendiri, jadilah mereka sendiri yang mengatur waktu kapan mereka akan menyetrika bajunya. Untuk memasak, yang tengah lebih tertarik sementara yang sulung sebaliknya. Untuk bab urusan dapur ini kemajuannya masih sedikit, tetapi perlahan-lahan niscaya mereka bisa
Sejauh ini acara membuatkan kiprah sehari-hari di rumah tersebut berjalan lancar. Kami menyebut kiprah dan tanggung jawab belum dewasa itu sebagai keterampilan hidup. Mudah-mudahan kelak keterampilan ini mempunyai kegunaan bagi mereka di masa yang akan datang.
oleh : Fitri anita
oleh : Fitri anita
0 Response to "Belajar Keterampilan Hidup"
Post a Comment